TINGGAL SAYA MANTAN PETA DI KOTA BLITAR.
.
MEGAPOLITANJATIM,|| Sabtu, 19 Desember 2020. Dihari yang sama setelah kami berkunjung ke mbah Mardjoeni, kami lantas berkunjung ke salah satu mantan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) di zaman Jepang yang tersisa di kota Blitar, Jawa Timur. Kedatangan kami disambut ramah oleh ibu Enik (putri beliau) dan seorang pria sepuh yang bernama mbah Sukiyarno. “Mari silahkan masuk, mbahkung sudah menunggu dari tadi” ucapnya. Lantas kami memberikan maksud dan tujuan kedatangan kami ke beliau, sesaat beliau masuk ke dalam kamarnya untuk mengenakan alat bantuan pendengaran. Fisiknya masih terlihat sehat, walaupun untuk pendengaran sudah mulai berkurang. Bu Enik juga turut membantu proses percakapan kami dengan beliau.
.
Beliau bernama mbah Sukiyarno, kelahiran Blitar tahun 1923. Diusianya yang ke 97 tahun, beliau hidup sendiri dirumahnya yang berada di Kota Blitar. “Lebih enak hidup sendiri. Saya takut kalau saya tidak dirumah dan ikut anak, kalau ada yang mencari saya. Mereka kebingungan mencari saya” ujar pria sepuh yang mengidolakan artis penyanyi Lesti tersebut. “Tapi setiap waktu pihak keluarga selalu menjenguk beliau, tidak lantas mbahkung hidup sendiri” kata ibu Eni menambahkan kepada kami. Sebelum Jepang masuk beliau mengenyam pendidikan SR (Sekolah Rakyat), ketika Jepang datang ke Indonesia ditahun 1942 dan kemudian di bulan Oktober 1943 dibentuk organisasi semimiliter bernama PETA (Pembela Tanah Air) mbah Sukiyarno mendaftar diusia 18 tahun kala itu. Beliau lolos dan ditempatkan di Batalyon PETA Blitar yang sekarang lokasinya dikomplek monumen PETA dan SMP/SMK di Jl. Sudancho Supriyadi, dengan berjumlahkan kurang lebih 130 personel pasukan PETA dibawah pengawasan dan didikan militer Jepang.
“Walaupun kami adalah tentara waktu itu, tapi makanan sehari-hari kami hanya grontol (jagung yang direbus dan dihidangkan dengan diberi taburan parutan kelapa) dan jenang (ketan). Sedangkan nasi untuk orang-orang Jepang” kata beliau. Tugas tentara PETA yang kemudian mengawasi para pekerja paksa (romusha) membuat sebagaian besar tentara PETA berat hati. “Kami sedih melihat penderitaan rakyat, bangsa kami sendiri diperlakukan kerja paksa dan tindakan kejam dari tentara Jepang. Sedangkan kami disuruh mengawasi dan menjaga mereka, mana kuat hati kami melihat penderitaan rakyat seperti itu. Lantas kami ingin sekali memberontak kepada Jepang” ucap mbah Sukiyarno. Beliau saat di PETA ditugaskan dibagian penyuratan yang menghubungkan antar Batalyon PETA di Jawa Timur. “Saya mengirim surat antar Batalyon dengan pengawasan militer Jepang. Saya juga sering dimintai pak Supriyadi untuk mengantarkan surat kepada kekasihnya disetiap akhir pekan, walaupun terkadang saya tidak mengantarkannya” kata beliau tertawa.
.
Saat pemberontakan PETA terjadi dini hari tanggal 14 Februari 1945 banyak prajurit PETA yang mendapat hukuman oleh militer Jepang. Termasuk tujuh orang dijatuhi hukuman mati di Jakarta, salah satunya Sudancho Supriyadi. Namun nasibnya hingga kini masih belum jelas, apakah dihukum mati Jepang disuatu tempat atau lolos dari sergapan Jepang. “Keberadaannya belum pasti” ucap mbah Sukiyarno singkat. Ketika kami menanyakan apakah wajah Sudancho Supriyadi seperti foto-foto yang selama ini beredar, beliau mengiyakannya. Mbah Sukiyarno sendiri mendapat interogasi dan dihukum penjara selama dua hari oleh Kempeitai (Polisi Militer Jepang) yang terkenal kejam di Kediri, Jawa Timur. “Saya dinterogasi dan disiksa selama dua hari, dipenjara dengan anjing-anjing jenis Herder yang siap memangsa saya” ujarnya lirih. Beliau kemudian dilepaskan oleh militer Jepang yang menilai mbah Sukiyarno hanya sebagai prajurit “kantor” tidak dilapangan. Faktanya memang beliau turut bertempur dengan semua prajurit PETA melawan Jepang.
.
Ketika kami menanyakan rekan-rekan beliau seperjuangan mantan PETA yang ada, beliau hanya menjawab “tinggal saya saja kalau dikota Blitar ini, ada satu lagi tetapi di Wlingi, Kabupaten Blitar”. Beliau juga menunjukan kepada kami sebilah pedang Katana peninggalan saat menjadi PETA, dengan ukiran naga persis milik mbah Soekarman mantan prajurit PETA asal Malang, Jawa Timur yang beberapa waktu sebelumnya pernah kami kunjungi. Setelah masa pendudukan Jepang, dan kemudian perang kemerdekaan melawan Belanda ditahun 1945-1949. Mbah Sukiyarno turut berjuang di Blitar sekitarnya, pendengaran beliau yang tidak baik ternyata disebabkan oleh ledakan bom saat berjuang melawan Belanda. Setelah perang beliau tidak lanjut ke TNI dan menjadi orang biasa, menikah dengan Almh. Ibu Samujiati yang telah berpulang sejak tahun 2014 lalu. Dikaruniai enam orang anak, yang kini tinggal empat orang yang masih hidup. Setelah dirasa cukup, kami lantas memberikan piagam penghargaan kepada beliau atas jasanya kepada negara dan buah tangan dari para donatur. “Terima kasih banyak” ucapnya senang. Beliau berpesan kepada generasi bangsa, “Selalu utamakan pendidikan, agar kalian tidak dibodohi oleh bangsa lain. Jangan Korupsi jika menjabat apapun, dan harus bertanggung jawab atas jabatan kalian” ujar mbah Sukiyarno kepada kami. Kami pun berpamitan dan beliau mengantarkan kami kedepan rumah dengan lambaian tangan serta raut wajah senang darinya, yang telah kami kunjungi.
.
Sumber : Album Sejarah Indonesia
Kegiatan ini berkat kerjasama kami dengan Dompet Kepedulian Muslim, Surabaya dan para donatur Album Sejarah Indonesia.