KEPERGIAN DALAM PUNCAK KEINDAHAN
Bagi saya pribadi, kepergian “Sang Kaisar Ambyar” Lord Didi Kempot adalah perjalanan di puncak keindahan. Pribadi yang rendah hati, santun dan penuh welas asih ini meninggalkan kesan mendalam dan kebanggaan sebagai seniman.
Ia memulai karier sebagai pengamen, yang membuatnya paham akan makna sangkan paraning dumadi, aja dumeh dan apa artinya sebagai rakyat kecil.
Ia pernah ngamen di sebuah resto di Jl Panglima Polin Jakarta Selatan, saat itu, orang memberi tip 100 rp sudah cukup menggembirakan, tapi dari jendela resto tiba2 ada sebuah tangan yang menyodorkan uang lembaran 100 ribu rp, ia kaget, sebelum menerima ia mencoba melongok ke dalam, ingin melihat siapa gerangan dermawan yang baik hati itu, ternyata kakaknya sendiri, Mamiek Prakosa.
Pertemuan itu membuat Mamiek meminta agar Didi Kempot berhenti ngamen dan dia berjanji akan mencarikan kerjaan yang lebih layak bagi adiknya, namun dengan halus, Didi Kempot menolak, karena ibarat petarung, Didi bilang sedang menjalani laku ke-satria-annya, sebagai satria jalanan. Itu proses pembelajaran mental-spiritual bagi dirinya.
Keteguhan hati Didi terhadap pilihan jalan hidup, mungkin saja tak bisa dipahami oleh orang lain, namun proses waktu kemudian mengantarkannya pada tahapan-tahapan yang kemudian merupakan kristalisasi dari impiannya, yaitu sebagai penulis dan pelantun lagu “Campursari” yang diperhitungkan.
Hampir sebagian besar lagu pop karangannya memiliki bobot dan daya tarik yang serius bagi penggemarnya. Beberapa tahun lagu-lagu karangan Didi Kempot “ambyar” di mana-mana. Salah satu yang paling fenomenal waktu itu “Sewu Kutho”.
Di luar dugaan dalam dua tahun terakhir, bertebar istilah ambyar, sobat ambyar dan lain-lain termasuk The Godfather of Broken Heart yang diciptakan oleh parapenggemarnya atau para creator content di youtube. Didi Kempot berkibar lebih ambyar dari tahun2 sebelumnya. Bahkan Konser Amal dari Rumah, bagi Didi Kempot merupakan puncak pencapaian spiritual yang tak terlupakan.
Didi Kempot pergi dalam puncak keindahannya karena ia meninggalkan banyak sekali kebaikan bagi sobat ambyar maupun para penggemarnya secara umum. Solidaritas sosialnya yang nggetih, sangat tipikal njawani seperti yang dituturkan Rosi, pemimpin redaksi Kompas TV dengan terisak-isak. “Mas Didi tidak pernah ngomong soal berapa bagian untuk dirinya. Beliau minta agar hasil donasi sobat ambyar sebanyak 7,6 miliar diurus Kompas dan diatur pembagiannya kepada saudara-saudara yang membutuhkan karena kasus Covid 19. Mas Didi pergi setelah semuanya bersih,” tutur Rosi yang tak berhenti terisak sambil menjawab pertanyaan media.
Dari Estin, istri Didi Kempot, bercerita kegiatan suaminya sehari sebelum meninggal, “Kemarin pagi, bakti sosial. sore nyemprot disinfektan. Habis berbuka menghadiri syukuran teman dengan mantan Lurah. Lalu jadi imam taraweh, jagongan, main ping-pong sebentar dengan anak, makan terus tekluk Terus dibawa ke rumah sakit. Belum pernah diketahui ada riwayat penyakit jantung. Tiap tiga bulan seklai mendonorkan darahnya. Sudah 141 kali menjadi pendonor darah. Didi mendapat penghargaan piagam emas baik dari tingat kabupaten, provinsi maupun pusat. Didi Kempot memang dikenal jiwa sosialnya sangat tinggi. Hampir dua malam tidak tidur karena situasi keamanan di sekitar rawan.
Hemat saya, Didi Kempot juga sangat berjasa bagi tumbuhnya para penutur atau pemakai bahasa Jawa, yang notabene sudah mulai ditinggalkan anak-anak muda. Lewat lirik2-nya yang puitik tapi mudah dipahami, dengan nada lagu yang memikat, hiduplah bahasa Jawa di lingkungan sobat ambyar. Kebanggaan berbahasa Jawa, meski dimulai lewat lagu, namun sihirnya sangat luas dan jelas.
Mas Didi Kempot, Panjenengan orang baik. Semanak dalam bergaul, tidak mentang-mentang kendati mega bitang, bahkan, menurut Bens Leo, Didi Kempot tetap sederhana. Sederhana dalam sosialisasi, bertutur sapa dan berperilaku sehari-hari.
Selamat jalan mas Didi Kempot. Semoga Panjenengan segera bertemu Surga di alam yang baru.