Petaka, Dosa Siapa

Budaya Ekonomi Hukum Pemerintah Pendidikan Peristiwa Politik

 

*Yakub F. Ismail*

Beberapa hari terakhir, linimasa kembali dipenuhi dengan kabar duka. Banjir besar melanda Aceh, Sumatera Barat, hingga Sumatera Utara.

Imbas dari bencana alam ini, rumah-rumah terendam, ratusan warga mengungsi, akses jalan terputus, aliran listrik padam, sampai kelaparan terjadi di mana-mana yang membuat aksi penjarahan logistik tidak bisa dihindari lagi.

Sebuah renungan kembali menyapa di tengah kondisi di luar kendali ini, yakni betapa rapuhnya kehidupan manusia ketika berhadapan dengan amukan alam.

Namun, di balik setiap musibah, selalu muncul pertanyaan yang menggantung di udara: petaka yang terjadi ini, dosa siapa?

Apakah semua ini terjadi secara kebetulan atau fenomena alamiah yang terjadi karena cuaca ekstrem yang makin sulit diprediksi?

Ataukah jangan-jangan semua ini cermin dari ulah manusia sendiri yang telah “memperkosa” hingga melampaui batasnya.

*Ketika Alam Membalas*

Banjir yang mendera Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara bukanlah fenomena alam yang lahir dari ruang hampa.

Ia bukan sekadar relasi kausalistik akibat hujan deras tanpa kompromi. Sebaliknya, bencana ini merupakan hasil dari rangkaian panjang perubahan bentang alam yang sengaja kita biarkan rusak karena mengejar nafsu dan keserakahan.

Atau, bahkan semua kegiatan kita yang disengaja ini luput dari kesadaran penuh akan dampak destruktif yang sewaktu-waktu bakal datang mengguncang rasa aman.

Percaya atau tidak, aktivitas manusia telah menjadi faktor dominan yang memperburuk intensitas bencana hidrometeorologi di Indonesia.

Di Aceh, longsor dan banjir bandang disebabkan oleh hutan-hutan yang terus dibabat tanpa ampun. Penebangan liar yang semakin tidak terkendali menjadikan kondisi lingkungan alam sekitar kehilangan daya dukung terhadap ekosistem yang ada.

Tanah kehilangan daya serap, air hujan mengalir tanpa tertahan, dan sungai meluap dengan cepat tanpa hambatan berarti.

Setali tiga uang, di Sumatera Barat, banjir lahar dingin memperparah kondisi akibat sedimentasi beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) seperti DAS Aia Dingin, dan Das Kuranji yang telah mencampur aduk dengan lumpur, bebatuan, hingga air.

Semua memang peristiwa alam, tapi di balik itu semua, ada persoalan sesungguhnya yang harus menjadi refleksi kita bersama.

Bahwa di sana kawasan hulu yang rusak, alih fungsi lahan yang semrawut, dan aktivitas pertambangan legal maupun ilegal yang semakin mendegradasi fungsi alamiah lingkungan yang ada.

Di Sumatera Utara, bencana terjadi dengan kondisi yang nyaris tidak jauh beda dengan yang ada di Sumbar dan Aceh, di mana sungai-sungai kian dangkal dan daerah tangkapan air makin menyusut akibat ekspansi perkebunan sawit dan permukiman.

Dari hamparan peristiwa alam mengerikan yang kita saksikan di depan mata ini, merupakan potret nyata atas krisis ekologis kita.

Manusia lupa bahwa alam pun mempunyai fungsi keseimbangan dan punya daya pulih terbatas. Ketika eksploitasi dilakukan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan daya topang terhadap eksositem yang ada, maka yang terjadi adalah kebinasaan itu sendiri.

Keserakahan dalam mengeksploitasi alam secara “ugal-ugalan” dan liar adalah akar dari banyak bencana yang dihadapi manusia di berbagai tempat.

Alam bukan membalas, melainkan ia hanya mengikuti hukum sebab-akibat. Sebab, siapa menabur angin, ia pasti menuai badai: sesederhana itu.

Dengan kata lain, ketika keseimbangan alam dirusak, maka ia tidak lagi mampu menahan beban. Bencana alam akhirnya menjadi peringatan keras atas ulah manusia sendiri.

*Pelajaran yang Harus Dipetik*

Bertolak dari peristiwa becana ini, mari kita lakukan perenungan lagi, apa yang sudah kita lakukan untuk alam kita tercinta ini.

Seperti halnya seorang ibu, alam mesti kita perlakukan dengan baik. Karena darinya sumber kehidupan yang aman, teduh dan damai bermula.

Bencana selalu menyisakan luka, tetapi ia juga menawarkan kesempatan untuk belajar. Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mengambil hikmah dari sekian banyak bencana yang pernah melanda Ibu Pertiwi?

Setidaknya, di balik bencana yang terjadi di Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara memberikan setidaknya tiga pelajaran besar yang tidak boleh diabaikan.

Pertama, pemulihan kembali fungsi ekologis harus menjadi prioritas nasional, bukan sekadar jargon seremonial.

Reboisasi tidak bisa hanya mengandalkan program tahunan yang dilakukan secara pasrial dan sporadis.

Daerah hulu mesti dipandang sebagai infrastruktur alam yang sangat vital peran dan fungsinya bagi kehidupan semesta.

Pemerintah pusat dan daerah harus berani mengusut dan menindak tegas pelaku pembalakan liar dan pertambangan ilegal, tidak cukup dengan razia sesaat.

Kedua, desain tata ruang harus kembali ditegakkan tanpa kompromi. Bongkahan kayu yang keluar bersamaan dengan banjir bukanlah fenomena yang tiba-tiba jatuh dari langit.

Itu semua berkaitan erat dengan aktivitas penebangan liar yang terjadi di kawasan hulu tanpa kontrol ketat.

Banyak kawasan rawan bencana justru dibuka untuk permukiman atau industri. Kita butuh disiplin baru dalam mematuhi peta rawan bencana, elevasi sungai, dan zonasi wilayah konservasi.

Akhirnya, refleksi mendalam perlu dilakukan bahwa bencana yang sering lahir bukan karena kita tidak tahu risikonya, melainkan karena kita mengabaikan ilmu pengetahuan dan membiarkan kepentingan jangka pendek mengalahkan keselamatan warga.

*Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia, SUAKA96*