Keras Seperti Kertas

Karya tulis Peristiwa Religi

Megapolitanjatim.com||Islam adalah meyakini apa yang di bawa oleh Nabi Muhammad SAW dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangannya. Sementara agama adalah sebuah kepercayaan atau keyakinan yang dipercaya dan dianut oleh seseorang. Bisa di simpulkan bahwa agama islam adalah kepercayaan atau keyakinan terhadap apa yang di bawa oleh nabi Muhammad SAW.

Agama islam disebut-sebut sebagai rahmatan lilalamin yang dengan kehadirannya akan bisa membawa rahmat atau kasih sayang terhadap seluruh alam semesta ini. Namun, belakangan ini mulai bermunculan golongan yang justru membawakan islam dengan cara yang keras dan terkesan memaksa. Hal ini menimbulkan kesan bahwa agama islam adalah agama yang keras dan tanpa toleransi kepada selain penganutnya.

Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip rahmatan lilalamin. Yaitu untuk kebaikan seluruh alam semesta. Pada zaman dahulu, semua persoalan diserahkan kepada rasulullah sebagai pimpinan umat di kala itu. Semua permasalahan akan langsung diselesaikan oleh rasul tanpa ada perdebatan. Namun, ketika rasul telah wafat, mulai bermunculan perbedaan pendapat yang ada di kalangan sahabat dikarenakan perbedaan pemikiran dan faktor-faktor lain yang ada di kala itu.

Ashabii kannujuumi fainiqtadaitum ihtadaitum. Kiranya itulah yang di sabdakan nabi untuk mengibaratkan sahabatnya. Jika ada perselisihan di antara sahabat nabi, kita harus mengikuti salah satu yang kita anggap paling benar tanpa merendahkan yang lain maka ihtadaitum, kita akan memperoleh petunjuk.

Dewasa ini, mulai bermunculan segolongan kelompok yang berperinsip fundamentalisme. Mereka berusaha untuk melakukan ‘pembersihan’ agama dengan cara
langsung bersumber kepada Al-qur’an dan hadist tanpa memperhatikan hasil ijtihad sahabat dan ulama, berupa ijma’ dan qiyas. Hal ini tentu saja memberikan kesan bahwa agama islam
adalah agama yang tidak fleksibel dengan tuntutan zaman.

Pada mulanya, istilah fundamental digunakan dalam agama kristen. Yaitu, kepercayaan
mutlak terhadap wahyu, ketuhanan al-masih, mukjizat maryam melahirkan tanpa suami, dan lain-lain. Kaum fundamental sendiri menolak penamaan atas diri mereka. Kebanyakan dari mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai ‘Kristen sejati’.
Menariknya, istilah ini mulai muncul dalam kalangan masyarakat islam.

Belakangan ini mulai muncul golongan yang berusaha untuk ‘kembali’ pada pemahaman kuno yang merujuk kepada al quran dan hadist secara tekstual tanpa memperdulikan makna kontekstual yang terkandung di dalamnya.

Mereka menolak pemahaman dan pemikiran yang menawarkan solusi-solusi untuk menyelesaikan masalah dengan cara menafsiri dan memperhatikan kondisi yang ada di masyarakat pada saat itu.

Hal ini tentu saja menimbulkan kesan bahwa islam adalah agama yang kolot dan tidak sesuai dengan permasalahan pada masyarakat yang kian lama kian berkembang. Padahal alquran adalah kitab yang berfungsi sebagai pedoman manusia yang relevan sepanjang zaman sampai hari kiamat kelak. Tentu saja kurang pantas kiranya jika menyamakan penyelesaian masalah pada zaman dahulu dengan masalah saat ini dan yang akan datang.

Alquran, sebagai kitab yang berfungsi sebagai pedoman manusia yang relevan sepanjang zaman sampai hari kiamat kelak. Maka mau tidak mau alquran harus menjunjung tinggi nilai keadilan dan kesetaraan untuk seluruh manusia tentunya, tidak hanya untuk umat islam saja. Nilai keadilan dan kesetaraan ini lebih di kenal sebagai konsep wasathiyah.

Wasathiyah, berasal dari kata wasatha yaitu tengah. Wasathiyah berarti konsep yang
yang bersifat tengah atau adil tanpa adanya keadilan yang berat sebelah antar kedua belah pihak.

Konsep ini secara tidak langsung ‘memaksa’ kaum muslimin khususnya untuk bersikap adil kepada sesama makhluk allah. Nabi Muhammad sebagai manusia yang di tugaskan untuk mendakwah kan agama
islam, harus menjadi contoh bagi seluruh umat dalam segala aspek kehidupannya. Kaana khuluquhul quran. Nabi Muhammad berakhlak seperti alquran.

Alquran adalah akhlak nabi seluruh isi yang ada di alquran terwujudkan dengan nyata oleh sikap dan akhlak nabi.

Tidak terkecuali konsep washatiyah diatas. Biasanya, orang  akan bisa bersikap adil ketika keadaanya, keluarga, ataupun golongannya merasa di untungkan.

Jika sedang tidak di untungkan atau bahkan di rugikan, orang akan sulit untuk berpikir rasional dalam menyelesaikan masalah atau membuat kesimpulan. Hal ini tidak berlaku bagi Nabi Muhammad.

Nabi adalah orang yang paling rasional dalam menentukan keputusan yang paling adil dan memberikan mashlahat. Hal itu kerap dibuktikan dengan sikap nabi ketika diangkat menjadi pemimpin di Madinah setelah hijrah. Beliau tidak lantas membuat kesepakatan dimana kaum muhajirin di untungkan olehnya.

Tapi, beliau membuat perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama di untungkan tanpa membuat mereka kehilangan hak nya satu sama lain. Melainkan mereka di buat untuk saling memenuhi haknya dan saling melengkapi.
Tidak hanya Nabi, para sahabat pun juga turut menjunjung tinggi nilai keadilan. Hal ini di buktikan dengan pengangkatannya khalifah Abu Bakar pengganti rasul melalui
musyawarah. Jika saja kala itu sahabat tidak menjunjung nilai keadilan, kiranya akan banyak terjadi perselisihan untuk mengangkat khalifah pengganti rasul. Mereka akan mementingkan
golongan masing masing dalam mengajukan calon khalifah.

Dewasa ini, muncul paham aliran yang mengharuskan umat muslim untuk keras dan
memusuhi terhadap orang kafir. Mereka berdalih dengan firman allah pada surat al fath ayat 29. Muhammadun rosuulullaah, walladziina maahu asyiddau alal kuffari ruhamaau bainahum.

Mereka mengartikan ayat tersebut secara global dan tekstual tanpa memperhatikan asbaabun nuzuul dan kondisi masyarakat pada saat itu. Jika memang seperti itu, apakah itu yang dinamakan islam sebagai rahmatan lilalaamiin ?

Islam seharusnya adalah agama yang toleran dan sangat menjunjung tinggi nilai keadilan dan kemanusiaan.

Kata asyiddau pada ayat di atas bisa di artikan sebagai sikap keras yang terbatas pada aqidah yang di anut oleh umat beragama, bukan sifat keras dalam segala aspek bidang yang
ada di kehidupan manusia. Ruhamaau bainahum juga bisa di artikan berkasih sayang antar sesama umat manusia yang ada di lingkungan mereka (Nabi dan sahabatnya). Bukan terbatas ruhamaau bainal muslimiin, tapi melebar dalam artian ruhamaau bainannaas.

Oleh karena itu, sangatlah perlu adanya penafsiran yang dilakukan untuk memahami
dan mengimplementasikan apa yang dimaksud dalam alquran dan hadist Nabi. Agar agama
islam dapat menjadi agama yang bisa terus menghadirkan solusi untuk permasalahan umat sepanjang masa, bukan?

Al Quran dan hadist adalah dua sumber utama dalam agama islam yang bersifat sangat fleksibel. Maka dari itu, kedua hal tersebut sangat mungkin sekali untuk menerima sudut pandang yang baru dan segar yang sesuai untuk dipakai di sepanjang zaman.

Pemikiran para ulama sangat di perlukan untuk memahami dua sumber tersebu Wa lau syaa a allahu ma asyrakuu wa maa jaalanaaka alaihim hafiidza wa maa anta
alaihim biwakiil. Wa laa tasubbuu alladziina yaduuna min duunillahi fayasubbu allaha adwan bighoiri ilm kadzaalika zayyanna likulli ummatin amaluhum tsumma ilaa rabbihim marjiuhum
fayunabbiuhum bimaa kaanuu yaklamuun.

Ayat di atas adalah salah satu contoh dari banyak sikap toleransi yang harus diambil oleh seorang muslim dalam menyikapi orang beragama lain. Wa lau syaa allahu maa asyrakuu, adalah salah satu motivasi dari Allah untuk menghibur hati Nabi Muhammad dalam
menjalankan dakwahnya. “dan jika Allah menghendaki, mereka tidak akan menyekutukan Allah”.

Ayat di atas adalah penegasan bahwa Nabi Muhammad tidak lebih hanya seorang utusan untuk menyeru orang-orang agar beriman. Beliau sama sekali tidak bisa mengendalikan apakah seseorang akan menerima dakwahnya atau tidak.

Ayat di atas diturunkan untuk menanggapi cacian kaum mukminin terhadap sesembahan orang-orang kafir yang berakibatkan balasan cacian dari orang orang kafir terhadap Allah.

Lafadz adwan bi ghoiri ilmi menunjukkan bahwa cacian yang di lontarkan orang kafir adalah cacian kebencian dengan tanpa ilmu apapun mengenai agama islam, Nabi
Muhammad, dan Allah.
Hal serupa juga tercantum dalam Al Quran surat At Thaahaa ayat 44. Faquulaa lahuu qaulan layyinaa laallahu yatadzakkaru au yakhsyaa.

Disebutkan jelas pada ayat di atas bahwa dalam berdakwah haruslah kita berkata lemah lembut terhadap orang lain semata mata berharap agar orang tersebut yatadzakkaru auyakhsyaa mengingat allah dan sadar akan kesalahannya atau takut kepada Allah atas apa yang telah ia perbuat.

Persoalan dia sadar atau tidak kita harus menyerahkannya kepada Allah. Menyikapi surat Al Fath ayat 29 di atas. Dalam hal ini Al Quran telah mengatur apa saja yang diperbolehkan dalam berkasih sayang (ber-muamalah) terhadap orang non muslim.

Di antaranya adalah perjanjian perjanjian yang tercantum di surat At Taubah ayat 2-5. Di sana disebutkan bahwa kaum muslimin berhak dan boleh mengajukan perjanjian terhadap orang kafir selama kedua belah pihak saling memenuhi hak masing-masing.
Dalam hal pernikahan pun juga di sebutkan bahwa lelaki muslim boleh menikahi perempuan dari golongan ahli kitab bukan sebaliknya. Hal ini diharapkan agar pernikahan bisa turut menjadi sarana dakwah untuk menyebarkan agama islam sebagai rahmatan lil alaamiin.

Hal ini juga di dukung oleh firman Allah dalam surat Al Kafiruun ayat 6. Lakum diinukum wa li addiin. Allah dan Rasulnya tidak memaksakan kehendak orang dalam mengambil jalan (agama) yang harus di pilihnya. Hal ini menunjukkan betapa Al Quran sangat menjunjung tinggi nilai toleransi.

Nabi pun juga turut ambil peran memberikan contoh bolehnya orang islam melakukan relasi (muamalah) dengan orang selain muslim. Hal itu dibuktikan dengan adanya riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi melakukan transaksi dengan orang yahudi dan nasrani, dan juga tidak adanya dalil yang melarang muamalah yang dilakukan orang islam dengan orang non muslim.

Dalam menindaki para penista Al Quran, ayat Al Quran bersifat sebagai ancaman bagi yang menyekutukan-Nya dan nikmat dan iming-iming bagi orang yang takut dan bertakwa kepada-Nya.

Tidak ada unsur paksaan dalam beragama di Al Quran. Al Quran menyebutkan inna fii dzalika laaayaatun li qaumin yatafakkarun, li uulil albaab, li uulin nuhaa. Dari penggalan beberapa ayat senada di atas, di bisa simpulkan bahwa bukti-bukti kebesaran Allah hanya di peruntukkan untuk orang-orang yang menggunakan akal dan hatinya dalam menerima kebenaran tanpa adanya paksaan sedikitpun. Pada akhirnya, bisa kita simpulkan bahwa islam sejatinya adalah agama yang sangat keras jika berbicara soal aqidah dan sangatlah luwes ketika membicarakan soal toleransi dan muamalah antar umat manusia. Sama halnya seperti selembar kertas. Sebuah benda yang sangat lunak dan fleksibel bisa menjadi pengubah, pengikat, dan pengatur yang sangat kuat. Di balik sebuah tulisan yang bisa mengubah, mengikat, dan mengatur itu terdapat sisi putih yang sangat bersih dan suci.

Melambangkan agama islam yang keras dalam mengatur aqidah
pengikutnya dan lembut dalam muamalah sesama manusia.
Tapi, di balik semua itu mengandung hikmah dan pengajaran yang membimbing kita agar lebih dekat dengan-Nya.

Maka dari itu, diperlukannya pemikiran moderat dan maju adalah mutlak adanya dalam sarana kita untuk memahami Al Quran dan dasar-dasar agama yang lain untuk menciptakan islam yang luwes, tolerir, moderat, dan islam yang fleksibel dalam menghadapi permasalahan sepanjang zaman. Bukan?

( Abiyyu Ghozy Nanda I )