Akibat Dipropamkan, Oknum Kapolresta Manado Diduga Depresi dan Kalap
Jakarta,MJ– Oknum Kepala Kepolisian Resort Kota (Kapolresta) Manado, KBP EL, diduga kuat mengalami depresi akut yang akhirnya menjadi kalap tidak terkendali akibat dilaporkan ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri. Dugaan itu muncul karena pejabat teras nomor 1 di Polresta Manado itu terkesan tidak terima dirinya dilaporkan ke Divpropam atas dugaan pembangkangan terhadap Perkap No. 8 tahun 2009 dan Perkap No. 10 tahun 2011, serta pelanggaran Pasal 72 KUHAP.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA kepada media ini ketika ditanyakan pendapatnya terkait beredarnya Surat Penetapan DPO (Daftar Pencarian Orang) atas Ibu Bhayangkari, Nina Muhammad, tertanggal 9 Agustus 2021. “Yaa, menurut saya, sangat aneh itu. Logika anak SD saja bisa dengan mudah menebak keanehan tingkah laku Kapolresta Manado tersebut. Apakah masuk akal dia menerbitkan surat DPO terhadap orang, yang merupakan keluarga besar Polri, yang ada di depan hidung dia? Hanya orang stress berat, depresi akut, kehilangan akal, dan akhirnya mengambil tindakan membabi-buta tidak terkendali, yang bisa seperti itu yaa,” jelas alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu dengan nada heran, Selasa, 10 Agustus 2021.
Sebagaimana diberitakan di ratusan media se-Indonesia beberapa waktu lalu bahwa oknum Kapolresta Manado, KBP EL, dilaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri oleh Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke, karena dinilai telah melakukan pelanggaran hukum, menyalahgunakan kewenangan, dan melakukan pembangkangan terhadap Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8/2009 dan 10/2011 [1]. Penyalahgunaan kewenangan dan pembangkangan oknum Kapolresta itu terkait dengan kasus upaya kriminalisasi Nina Muhammad, yang merupakan seorang anggota Bhayangkari di lingkungan Polda Sulawesi Utara [2] [3] [4].
Akibat dipropamkan, menurut Lalengke, oknum KBP EL, diduga kehabisan akal untuk menuntaskan program kriminalisasi Nina Muhammad, yang adalah juga anggota PPWI ini. “Dugaan saya, dampak dari pelaporan kita ke Propam Mabes Polri lalu, oknum Kapolresta Manado itu kehabisan akal, akhirnya dia menggunakan kewenangannya secara sewenang-wenang, menerbitkan surat DPO dan menyebarluaskannya ke publik. Yaa, orang banyak pasti tertawa mengejek dan berkata: ‘Lah, Nina Muhammad itu anggota keluarga besar Anda, setiap hari bolak-balik ke Mabes Polri mencari keadilan, mengapa Anda sibuk mencarinya tak tentu arah seakan dia sembunyi di lubang semut? Berarti kemungkinan ada yang keliru di proses yang Anda jalankan!’,” urai Lalengke berimajinasi tentang tanggapan publik atas surat DPO itu.
Dalam pemberitaan lalu, tambah Lalengke, pihaknya mempersoalkan kelalaian oknum Kapolresta Manado dan jajarannya yang tidak memberikan turunan BAP kepada Nina Muhammad setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik yang menangani kasus ini. Sesudah diberitakan, buru-buru oknum Kapolresta itu mengirimkan turunan BAP kepada penasehat hukum Ibu Nina Muhammad melalui kurir.
“Turunan BAP yang diberikan pun tidak lengkap, berkas yang diberikan hanya 3 halaman lembaran BAP terlapor Nina Muhammad. Padahal menurut korban kriminalisasi itu, berkas BAP dia tidak kurang dari 7 halaman dari 2 kali proses BAP. Kemana halaman lainnya?” tegas lulusan pasca sarjana bidang studi Etika Terapan dari Universitas Utrecht, Belanda, dan Universitas Linkoping, Swedia, ini.
Penyerahan turunan BAP yang hanya 3 halaman itupun sudah merupakan pelanggaran terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya Pasal 72, dan Pasal 17 Undang-Undang Advokat. “Nah, sekarang oknum itu melakukan pelanggaran lagi, yakni menerbitkan surat penetapan DPO dengan serampangan, tidak sesuai dengan Perkap No. 14 Tahun 2012 tentang Manajeman Penyidikan Tindak Pidana, Pasal 31 ayat (1), pada pokoknya mengatur bahwa penerbitan DPO bisa dilakukan jika telah dilakukan pemanggilan sebanyak 3 (tiga) kali dan ternyata tidak jelas keberadaannya. Mungkin setelah berita ini ditayangkan, buru-buru mereka buat surat panggilan ketiga dengan tanggal berlaku mundur. Hukum dan peraturan di negeri ini dibuat main-main sesuka hati seenak perutnya saja,” ujar Lalengke dengan nada prihatin.
Pejabat di unit Pengawas Penyidikan (Wassidik) Mabes Polri, KBP Jimmy, saat ditanyakan pendapatnya perihal penerbitan surat penetapan DPO terhadap Ibu Bhayangkari, Nina Muhammad, yang bersangkutan justru menyalahkan korban kriminalisasi itu. “Yaa, jadi saya agak sesali juga. Yang pertama (Ibu) selalu press-conference, yang kedua (lapor) kemana-mana. Menurut saya ini ya, mereka (Polresta Manado – red) sudah dimintai tolong, mereka sudah mau cooling down, tapi Ibu kemana-mana,” demikian kutipan pernyataan Jimmy kepada korban.
Sementara, ketika Ketum PPWI Wilson Lalengke meminta tanggapan KBP Jimmy, hingga berita ini naik tayang, yang bersangkutan belum memberikan tanggapan apapun. Pesan WA yang dikirimkan pada pukul 16.08 wib ke KBP Jimmy, kesannya belum dibaca (belum warna biru – red), walaupun yang bersangkutan terlihat online hingga pukul 23.16 wib.
“Yaa, mungkin masih koordinasi dengan Polresta Manado untuk membangun argumen yang pas atas pertanyaan saya itu. Maklum, Kasatreskrim Polresta Manado yang menandatangani Surat Penetapan DPO adalah mantan anak buahnya KBP Jimmy, jadi perlu diskusilah. Apalagi, dari informasi yang masuk, diduga kuat para oknum di Wassidik Mabes Polri itu sempat meminta uang kepada korban Nina Muhammad dengan alasan untuk biaya menghadirkan para penyidik Polresta Manado ke Mabes Polri guna melakukan gelar perkara atas kasus ini,” beber Wilson Lalengke yang merupakan Presiden Organisasi Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko itu.
Ditanya tentang langkah PPWI selanjutnya, tokoh pers nasional yang terkenal anti korupsi, anti suap, dan selalu berjalan tegak-lurus ini mengatakan bahwa pihaknya akan membuat laporan pengaduan lagi ke Divpropam. “Kita akan buat laporan lagi, saya kumpulkan informasi dan data serta alat bukti selengkapnya, para oknum yang terlibat mengkriminalisasi Ibu Nina akan kita laporkan ke berbagai pihak terkait. Kali ini kita tembuskan ke Kompolnas, Menkopolhukam dan Presiden RI. Termasuk para oknum di Wassidik Mabes Polri yang menjanjikan untuk gelar perkara atas kasus ini, tapi tidak pernah terwujud. Dugaan saya, karena korban tidak punya uang untuk disetorkan ke para oknum itu. Sudah memprihatinkan sekali institusi Polri kita ini, duit ke duit saja di otak para oknum itu,” pungkas Lalengke dengan hati mangkel. (APL/Red)