Wempi Ramandei dulu bermimpi jadi dokter, kini jadi tentara
MEGAPOLITANJATIM||Dulu bermimpi jadi dokter, kini menjabat Kasrem 172/Praja Wira Yakti(PWY) di Kota Jayapura, Papua. Itulah sosok Wempi Ramandei yang tak punya mimpi menjadi tentara. Dia justru bercita-cita menjadi dokter.
Namun siapa sangka arah kemudi hidup anak ketujuh dari sembilan bersaudara kelahiran Serui, Kepulauan Yapen, Papua ini, kemudian berubah. Jalan Tuhan membawanya menjadi prajurit baret merah berpangkat letnan kolonel. Pas dengan moto hidupnya, “Hati manusia memikirkan jalannya, tapi Tuhanlah yang menentukan arah jalannya”.
Ramandei menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, SD sampai SMA, di Serui dan lulus tahun 1991. Tak sedikit pun bercita-cita menjadi tentara. Dia justru bercita-cita menjadi dokter. Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan kemudian mengurungkan niatnya menjadi dokter.
Ketertarikannya pada korps berbaju hijau bermula ketika masih duduk di kelas 2 SMA jurusan IPA dengan spesialisasi Biologi. Ketika itu, Bapak Yohanes Senggi sering bertandang ke rumahnya. Keseringannya menemui tentara berpangkat letnan dua itu di rumahnya, mendengarkan arahan beliau, membuat benih-benih menjadi tentara bertumbuh. Dia pun bertekad mendaftar masuk taruna.
Bapaknya hanya lulusan Sekolah Rakyat di Kota NICA—kini Kampung Harapan, Sentani, Kabupaten Jayapura, dan mulai bekerja pada sekolah pertanian pada zaman Belanda yang kemudian menjadi pegawai negeri. Karena kondisi tersebut, dan ekonomi keluarga yang pas-pasan, dia sadar betul bahwa menjadi dokter hanya sekadar impian.
“Karena alasan ekonomi itulah saya terpaksa harus daftar ke taruna pada saat itu. Tahun 1991. Tapi mungkin belum waktunya. Tahun 1992. Kemudian pendidikan 3 tahun, lulus tahun 1995. Itulah yang membuat saya tertarik karena senior saya,” ujar Ramandei.
Dia ternyata memiliki cerita unik ketika lulus taruna. Setelah taruna dilakukan pendidikan dasar-dasar kecabangan. Para infantri, sarjab, kemudian mengikuti latihan terjun. Setelah sarcab itu terakhir ada latihan terjun penutupan di Batujajar. Di situlah seleksi. Sebanyak 130-an perwira infantri melakukan latihan penerjunan. Saat itulah Kopassus menyeleksi perwira. Dari 130-an tersisa 22 orang dan hanya 15 orang yang dinyatakan lulus.
Ada satu hal yang menurutnya aneh. Pada saat seleksi biasanya para taruna menghadap atasannya. Letjen TNI Prabowo ketika itu. Ramandey muda justru hanya diberikan perintah untuk melaksanakan peraturan baris-berbaris: hadap kanan, hadap kiri, dan balik kanan. Hanya begitu saja terus disuruh keluar. Tidak menghadap ke tester perwira-perwira yang lain. Tidak ada wawancara, lalu dia disuruh keluar ruangan.
“Saya merasakan ada yang aneh, tidak biasa. Setelah itu kami selesai tes, kemudian latihan penerjunan juga selesai kami kembali lagi ke pusdik. Begitu mau penutupan dibacakan skep penempatan itu kami ada 15 orang,” katanya.
Setelah penutupan pendidikan kecabangan, dia mengingat waktu itu hari Jumat. Setelah itu, beliau ke rumah orang tuanya di Jakarta. Namun dirinya kaget begitu didatangi sejumlah prajurit Kopassus dan memberitahukan bahwa tiga hari berikutnya, atau Senin pekan depan, akan dilakukan pembukaan pendidikan, sehingga Ramandey harus kembali ke Batujajar di Jawa Barat untuk mengikuti pendidikan selama tujuh bulan hingga selesai tahun1996. Pada akhir 1996 dia bersama teman-temannya langung diberikan surat penempatan.
Setelah mengawali karier dari letnan dua sampai kapten, Ramandei ditempatkan di Dok Dua, sekitar 10 tahun. Setelah di Kopassus selepas pendidikan, karena kekurangan jabatan, karena senior-senior lulus 1994, 1993, itu setelah mereka selapa, semua kembali.
Pada tahun 2003 itu selapa paling banyak, selapa cuci gudang. Sebagian besar mereka keluar sehingga tahun 2004 dia dipindahkan ke Rindam XVII/Cenderawasih sebagai Wadan Secata.
Sebenarnya dia tak ingin kembali ke Papua selepas pendidikan, karena ingin mencari pengalaman, sehingga sewaktu mengisi angket dia meminta untuk ditempatkan di Sumatra, Kalimantan, Jawa atau Sulawesi. Tapi waktu itu pilihan terberat jatuh kepada pulau Jawa, Kalimantan, Sumatera. Tapi setelah selesai pendidikan ditarik kembali ke Tanah Papua.
Dia kaget ketika sampai di Tanah Papua karena ternyata Herman Asaribab (mantan Pangdam XVII/Cenderawasih) bertugas di Kodam dan Hamdan Ali Bogra (mantan Pangdam XVIII/Kasuari), serta Yobe di Timika. Putra-putra daerah ini pulang kampung. Itu artinya kepulangan mereka untuk bertugas di Bumi Cenderawasih merupakan keinginan angkatan darat, sehingga harus diterima dengan ikhlas.
Di Kodam XVII/Cenderawasih Ramandei pun menjabat sampai berpangkat letkol, mulai kapten pindah dan sekolah lagi hingga pangkat Kolonel menjabat sebagai kepala staf di Korem 172/PWY.
“Saya Dandim di Kaimana (2016-2017). Jadi, itulah kira-kira pengalaman karier saya,” ujarnya.
Dia pun mulai belajar menjadi pemimpin ketika beberapa bulan kemudian komandannya pindah. Tidak ada pengganti. Di situlah dia belajar untuk mulai memimpin, artinya memposisikan diri sebagai komandan.
Itu hal yang sulit baginya, karena memimpin organisasi tidak mudah, apalagi di lembaga pendidikan tentara. Kita harus pahami benar, harus bisa mengatur dengan baik supaya pendidikan berjalan tanpa masalah. Sekitar enam bulan dia tidak ada elhansat dan 2004-2007 di secata.
Pujaan Hati
Pada suatu ketika di rumah Ramandey, Grup 2 Solo, Jawa Tengah, digelar ibadah. Seorang pelayan Tuhan berpangkat letnan kolonel memimpin ibadah. Sang Pelayan biasanya membawa serta anak-anaknya, termasuk Livina Naragari, yang kelak memikat hati pria asal Serui, Ramandei.
Tanpa basa-basi, Ramandei memberanikan diri berkenalan dengan gadis NTT berdarah campuran Sabu-Manado ini. Keesokan harinya dia langsung ke rumah bapak mertua, untuk mengutarakan niatnya mempersunting Ina Sabu Nona Flobamora, sang pujaan hati. Momen ini terkesan lucu dan langka plus unik baginya.
“Saya ketemu hari ini besok saya langsung ke rumah. Saya tidak ajak kemana dulu, ngobrol, tapi saya langsung ke rumah. Jadi hari ini ketemu, kenalan, besok saya langsung ke rumah,” katanya sembari memperkenalkan bahwa mertua lelakinya seorang tentara dan ibu mertua seorang guru.
Dari Pegunungan Bintang Hingga Padang Bulan
Tahun 1997 dia bertugas di perbatasan RI-PNG di Pegunungan Bintang (Kiwirok, Oksibil, Okbibab,lalu pindah lagi ke Batom), dan kembali tahun 1999. Hingga kini, sekitar sebulan yang lalu dipercayakan menjadi Kasrem 172/PWY di Padang Bulan, Kota Jayapura. Ini merupakan kepercayaan untuk mengemban tugas dan tanggung jawab membantu Danrem dalam mewujudkan tugas pokok dari komando atas. Dalam hal ini mengkoordinasi staf.
Sebenarnya kepala staf hanya melanjuti keinginan staf dengan mengkordinasi para staf. Sebagai kepala dia akan melanjutkan kebijakan pimpinan, terutama Danrem, dalam pembinaan, baik secara ke dalam, maupun ekternal atau hal-hal yang berhubungan dengan masyarakat. Semua diatur dalam program.
“Satu hal yang (membuat) saya tertarik dengan apa yang diceritakan oleh Danrem, hentikan pertumpahan darah, artinya ini juga merupakan turunan dari almarhum kita Bapak Herman Asaribab melayani dengan hati,” katanya beberapa waktu lalu di Jayapura.
Dia tak menampik akan membantu penyelesaian konflik di Tanah Papua dengan pendekatan hati, dengan mengkoordinasi semua staf. Tugas ini dianggap strategis, sebab tugas-tugas dari Korem cukup banyak, baik menyangkut tugas internal, maupun eksternal.
“Artinya kita berhadapan dengan masyarakat kita yang, ya, saya boleh katakan masih banyak yang tertinggal, terutama dengan pendidikan, sehingga ini tugas saya dalam menjabat sebagai kasrem melaksanakan tugas-tugas tambahan,” katanya.
“Kami tidak keluar sebenarnya. Kalaupun ada kegiatan keluar, itu atas perintah, karena kepala staf sebagian bergulir untuk ke dalam,” lanjutnya.
Pembinaan ke dalam tentu dihadapkan dengan banyak persoalan, terutama membinal dan mendidik mental prajurit. Di Tanah Papua, kuota prajurit lebih besar bagi anak asli Papua dibandingkan penduduk Papua lainnya atau 80:20.
Tugas Ramandei dan jajaran adalah memastikan bahwa mental para prajurit dibina dan dibentuk agar tidak menjadi beban bagi mereka sendiri. Kuota 80:20 memang terasa berat bila komandan tidak rutin memberikan arahan. Ini kita tugas staf untuk mengkordinasi. Pada saat pandemi COVID-19 seperti ini pihaknya melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan intens.
Pembinaan-pembinaan ini dilakukan secara interen untuk prajurit-prajurit itu, tidak hanya kepada putra daerah, tetapi juga prajurit-prajurit lainnya.
“Ketika sudah jadi prajurit, terus, desersi, ini yang sangat menyolok. Jadi, tugas saya sebagai kepala staf menjaga kemungkinan itu, apa keinginan komandan, komandan mau begini kita laksanakan. Memang kita fokus ini karena ini menjadi perhatian juga di TNI maupun Angkatan Darat karena ada sedikit kenaikan untuk pelanggaran disersi, kalau yang saya tahu,” katanya.
Dia berpesan kepada putra-putri Papua yang bertekad menjadi TNI/Polri untuk menjadi orang beriman. Mereka harus mempunyai moral yang baik. Moral yang baik ditentukan oleh kualitas imannya.
“Dasarnya itu. Itu timbul dari keluarga, lingkungan sekitar,” kata bapak dua putra ini.
Wempi Ramandei, adalah the next star from Papua yang diprediksikan bersinar dari ufuk timur Indonesia ditubuh TNI AD. (Alfian/TM Rosario)