DHARMAPUTRA VS BHAYANGKARA,PERTARUNGAN DUA PASUKAN ELIT MAJAPAHIT

Pemerintah Pendidikan Peristiwa

DHARMAPUTRA VS BHAYANGKARA,PERTARUNGAN DUA PASUKAN ELIT MAJAPAHIT

MEGAPOLITANJATIM,|| Saat berbicara tentang pasukan khusus kerajaan Majapahit, biasanya orang akan langsung menunjuk Pasukan Bhayangkara yang dipimpin oleh Gadjah Mada.

Tetapi sebelum itu, ada sebuah pasukan bernama Dharmaputra yang benar-benar hanya diisi oleh segelintir orang berkemampuan tinggi.

Kisah tentang Pasukan Dharmaputra tertulis dalam kitab Negara Kertagama dan Pararaton. Negarakertagama menceritakan pasukan bernama Dharmaputra dibentuk pada awal-awal berdirinya Majapahit oleh Raden Wijaya, pendiri sekaligus raja pertama kerajaan tersebut.

Sementara Pararaton menyebutkan, para Dharmaputra disebut sebagai pengalasan wineh suka, yang artinya pegawai istimewa yang disayangi raja. Mereka diangkat oleh Raden Wijaya.

Pasukan ini bertugas mengawal dan mengamankan raja. Tidak main-main, anggotanya hanya tujuh orang. Mereka adalah Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, dan Ra Pangsa.

Mereka adalah tokoh-tokoh yang mengawal Raden Wijaya ketika dikejar Jayakatwang yang menyerbu Singasari pada masa kekuasaan raja Kertanegara.

Dari ke tujuh Dharmaputra tersebut yang paling terkenal mungkin Rakuti dan Ra Tanca.

Ra Kuti terkenal karena berhasil menduduki Istana Kerajan dan memproklamirkan diri secara sepihak menjadi Raja Majapahit, sementara Ra Tanca terkenal karena membunuh Jayanegara.

Tidak banyaknya catatan tentang Dharmaputra termasuk dalam prasasti yang ditinggalkan kerajaan tersebut.

Minimnya catatan ini kemungkinan besar karena ketujuh orang ini pada akhirnya semuanya tewas sebagai pemberontak pada masa pemerintahan raja kedua Majapahit, Jayanagara.

Seluruh personel pasukan elite ini tewas di tangan Gadjah Mada dan pasukan Bhayangkara yang dia pimpin.

Dikisahkan selepas kematian Raden Wijaya, Jayanegara naik tahta sebagai raja Majapahit. Sayangnya raja muda ini banyak dipengaruhi oleh tokoh bernama Mahapati yang dikenal licik.

Kondisi ini memunculkan banyak ketidakpuasan di kalangan pejabat, termasuk Dharmaputra.

Gesekan Dharmaputra dengan pemerintah Majapahit dimulai dari peristiwa pembunuhan Patih Nambi.

Dalam Kidung Sorandaka dikisahkan pada 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Salah satu anggota Dharmaputra yaitu Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit.

Saat itu Mahapati kemudian menyebar kabar bohong ke Jayanegara bahwa Nambi hendak memberontak. Mahapati memang mengincar posisi Nambi.’

Jayanegara yang termakan isu kemudian mengirimkan pasukan menggempur Lumajang mengakibatkan Nambi dan Ra Semi tewas.

Terbunuhnya Ra Semi memunculkan dendam enam anggota Dharmaputra lainnya.

Puncaknya pada 1319 Ra Kuti bersama anggota Dharmaputra lainnya berhasil menggalang kekuatan untuk memberontak.

Pemberontakan dipimpin oleh Ra Kuti dan hanya satu anggota Dharmaputra yang tidak bergaung, yakni Ra Tanca.

Bisa jadi karena dia sebenarnya bukan prajurit tetapi seorang tabib.

Dalam pemberontakan ini Ra Kuti berhasil merebut istana sementara Jayanegara berhasil diselamatkan oleh Gajah Mada.

Di pengungsian Gadjah Mada menyusun strategi dan bersama pasukan elite Bhayangkara yang dia pimpin akhirnya berhasil melakukan serangan balik yang berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Tokoh ini tewas di tangah Gadjah Mada.

Satu-satunya anggota Dharmaputra yang tersisa, Ra Tanca akhirnya juga dibunuh Gadjah Mada setelah tabib ini menusuk Jayanegara hingga tewas.

Habisnya kekuatan Dharmaputra membuat Bhayangkara menjadi satu-satunya pasukan elite saat itu.

Gadjah Mada, sebagai pemimpin pasukan itupun akhirnya memiliki jalur karier tanpa penghalang.

Namanya semakin berkibar hingga akhirnya dia diangkat menjadi Mahapatih di era Tribuwana Tunggadewi.

Sebelum itu dia sudah menjadi patih di Daha sebagai penghargaan atas keberhasilannya menumpas pemberontakan Ra Kuti.

Saat Gadjah Mada menjadi Mahapatih, pasukan Bhayangkara juga ikut menjadi pasukan paling elite kerajaan.

Prajurit Bhayangkara tidak banyak menggunakan perlengkapan perang, termasuk senjata.

Mereka hanya menggunakan pedang, tombak, panah dan tameng. Keris tidak disebut karena pada saat itu keris sudah dianggap sebagai perlengkapan pakaian.

Di tangan Gadjah Mada, kesatuan Bhayangkara menjadi kekuatan yang sangat berpengaruh pada zamannya. Keselamatan para raja dan keluarganya di bawah kewenangan dan tanggung jawab Kesatuan Bhayangkara.

Namun pasukan Bhayangkara menorehkan catatan hitam terjadi saat Perang Bubat.

Saat Gadjah Mada menggunakan kesempatan perjalanan Putri Pajajaran Dyah Pitaloka ke Majapahit untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Rombongan itu justru diserang Gadjam Mada yang memunculkan perang besar.

Sepeninggal Gadjah Mada, keberadaan Pasukan Bhayangkaran masih tetap ada. Bahkan ketika Majapahit diserbu kerajaan Demak, bangsawan Majapahit menyelamatkan diri sejumlah daerah termasuk ke Bali dengan pengawalan Pasukan Bhayangkara.

Dari kisah kitab kisah kejawin jejaktapak

(da/sof)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *