Surabaya, 16 Juni 2021.
Oleh: Noor Arief
Kematian itu Mulai Berpasangan, Korona Jek Enek Rek.
Megapolitanjatim.com,||Sebenarnya kabar kematian adalah kabar yang biasa saya terima. Terlebih menjelang usia setengah abad. Sangat wajar bila satu persatu teman sepermainan saya, teman seumuran, teman sekolah baik di SD, SMP, SMA, maupun di perguruan tinggi, satu persatu pergi. Pergi untuk selamanya.
Termasuk selama pandemi. Kabar duka ini seliweran di grup whatsapp saya. Saya punya grup WA sekitar 45. Grup apa saja. Mulai dari grup sekolah, kampung, dan yang paling banyak memang grup profesi saya sebagai wartawan. Ada belasan grup khusus sesama pekerja media. Biasanya kami saling berbagi link berita. Tentu berita tulisan anggota grup.
Ada satu teman yang berada di 4 grup yang sama. Itu biasa saja.
Kadang satu link berita bisa saya di beberapa grup WA. Itu juga biasa.
Termasuk saat kabar duka menyebar pun juga saya baca di beberapa grup. Masih saya anggap biasa saja. Toh, generasi saya memang sudah waktunya satu persatu pergi. Kendati mati tak harus menunggu tua.
Tapi beberapa hari ini, kabar kematian itu seperti menyesakkan dada. Kabar kematian yang semula biasa saya baca dan saya terima, mulai membuat saya tertegun. Sudah sedemikiankah pandemi ini menghajar kita? Sudah sekuat inikah virus yang berasal dari Wuhan, Tingkok ini.
Atau sudah sedemikian lemahkan imunitas kita?
Sudah selonggar inikah protokol kesehatan yang kita terapkan?
Dan masih banyak pertanyaan.
Kematian pandemi mulai berpasangan. Beberapa hari lalu, di grup bicara Surabaya, saya mendapat kabar mertua rekan Ali Masduki dari Sindo, berduka. Dia kehilangan mertuanya. Pagi dan sore. Hanya selisih hitungan jam saja. Saya lupa siapa yang meninggal dahulu pada pagi harinya. Entah mertua lelaki atau mertua perempuan. Saya lupa.
Lalu kabar lainnya adalah kepergian rekan Dewan Penasehat Komunitas Jurnalis Jawa Timur atau disingkat KJJT. Yudi Irawan namanya dan saya biasa memanggilnya Abah Yudi. Iya, dia memang sudah berhaji dan tradisi Jawa biasa member panggilan khusus. Boleh dengan ‘Abah’ atau cukup dengan Ji, kependekkan dari Haji.
Abah Yudi meninggal belum genap satu minggu setelah kematian istrinya. Saya sendiri tidak tahu apakah kematian Abah Yudi dan isterinya akibat covid atau bukan. Tapi kematian memang punya 1001 cara. Tapi semuanya bertemu di titik yang sama. Illahi Robi.
Di hari yang sama sepeninggalnya Abah Yudi Irawan, putra pertamanya bernama mas Ageng dari Dewan Penasehat KJJT bernama Jeanne Linda yang akrab dipanggil bunda Jean meninggal paska di rumah sakit karena Covid-19.
Ditambah lagi dikabarkan kematian berpasangan kembali saya dengar. Tapi saya tidak mengenal keduanya. Juga tidak pernah bertemu keduanya. Malah nama keduanya pun saya tidak tahu. Saya hanya dengar dari cerita isteri saya.
Wanita yang sudah saya nikahi 20 tahun dan telah memberi 3 anak ini tadi pagi cerita tentang teman SMPnya. Suami isteri meninggal nyaris bersamaan. Hanya selisih dua hari kalau tidak salah. Mereka meninggalkan satu anak yang masih kecil.
Saya tidak bisa membayangkan bagaimana liarnya pandemi ini bila tidak kita kendalikan. Dulu kematian hanya sendirian, kemudian kini sudah berpasangan. Saya takut dan berharap tidak akan terjadi. Kematian keluarga. Semoga tidak terjadi.
Kendati kematian berpasangan sudah sangat berat bagi kita. Sangat mengendorkan semangat kita. Sangat membatasi kebebasan kita. Mengekang perekonomian kita tapi kita masih punya waktu. Kita masih punya tenaga. Asal ada niat kuat.
Saya sangat perihatin, dan mengucapkan duka cita yang sedalam-dalamnya. Mungkin tidak bisa mengucapkan satu persatu kepada keluarga rekan seprofesi saya. Sedih dan hanya bisa mendoakan bersama rekan lainnya, mungkin dengan karya tulis ini sebagai perwakilan hadirnya kami-kami di Komunitas Jurnalis Jawa Timur.
Kenakan masker, jaga jarak, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau gunakan handsanitizer, jauhi kerumunan, dan batasi pergerakan.
Sumber resmi : Komunitas Jurnalis Jawa Timur ( KJJT).